"Tingkah lakunya agak sedikit berbeda belakangan ini."
"Oh, dia cuma sedang dalam masa pencarian jati diri."
Pencarian jati diri memang merupakan satu hal yang pasti dialami dan menjadi satu fase terpenting dalam hidup. Saya percaya bahwa setiap orang memiliki jati diri dengan keunikannya masing-masing. Kata "keunikan" terasa pantas dipakai, menggantikan kata "kelebihan dan kekurangan" agar tidak terjebak dalam pandangan untuk saling membandingkan, seperti yang telah dipaparkan oleh Hendra dalam essai-nya, Siapakah Aku Yang Sejati.
Lalu apa sebenarnya jati diri itu sendiri?
Menurut Gnupi, jati diri adalah ekspresi batin mengenai tempat dan peran kita di dunia ini, guna menemukan arti kehidupan yang hakiki, sebagai tuntunan hidup dalam menemukan kebahagiaan sejati di hidup kita.
Namun seringkali terjadi bias dalam hal ini, dimana demi mendapatkan sebuah kebahagiaan sejati, pencarian jati diri yang terlalu ambisius tanpa disadari bisa beralih menjadi sebuah krisis jati diri.
Hal serupa pernah terjadi pada Christopher McCandless, seorang pemuda cerdas berusia awal duapuluhan, yang lulus dari Emory College di tahun 1992 dengan nilai nyaris sempurna. Tidak merasa bangga dengan kegemilangannya, Chris memutuskan untuk melepaskan semua atribut tersebut, bahkan menjauhkan diri dari kedua orang tua dan adik perempuannya dengan melakukan perjalanan jauh, tanpa sedikitpun kemewahan ataupun bisa dilacak oleh keluarganya. Dengan menumpang mobil beberapa orang yang dia temui di jalan, Chris berambisi untuk pergi ke Alaska dan mencoba menantang Tuhan dengan berusaha bertahan hidup di alam paling liar dengan iklim yang paling jahat, all by his own. Semua itu ia lakukan hanya untuk sebuah pencarian jati diri yang ia harapkan mampu menghadiahinya sebuah kebahagiaan sejati, hanya untuk dirinya sendiri. Namun apa akhirnya yang ia temukan? Kenyataan pahit bahwa ia harus terbangun dari mimpi dan menyadari bahwa "kebahagiaan akan terasa berarti apabila dibagi".
Krisis jati diri yang dialami Chris, dan mungkin juga oleh sebagian kita, tentu saja mempunyai beberapa penyebab yang kerap disalahartikan sebagai alasan untuk melakukan pencarian jati diri. Dalam essai Gnupi, Krisis Jati Diri dan Penyebabnya, disebutkan bahwa krisis jati diri serigkali disebabkan oleh perasaan mendalam manusia yang :
- merasa hidupnya selalu diatur,
- mengejar penghargaan dari lingkungan, dan
- memiliki pandangan sempit dan terbatas terhadap kehidupan.
Kita tidak perlu mengalami metamorfosa menjadi individu yang baru untuk menemukan jati diri karena sejak lahir jati diri itu sudah melekat pada diri pribadi. Tugas kita hanyalah mengenali diri sendiri, suatu proses yang ternyata sangat sulit dan membingungkan karena kecenderungan kita yang masih belum mampu memandang diri sendiri secara "jujur, objektif, dan adil".
Melakukan sesuatu di luar kebiasaan, atau melakukan sesuatu yang sama sekali baru, bahkan terkadang ekstrim, menjadi semacam pelarian berlabel "pencarian jati diri" bagi mereka yang masih kesulitan mengenali diri mereka. Chris mengganti namanya menjadi Alexander Supertramp dalam perjalanannya menemukan jati diri, dengan harapan bahwa dengan identitas baru, ia akan lebih mudah memaknai kesejatian dirinya.
Namun benarkah? Apakah dengan mengubah identitas kita juga mampu memperoleh kesejatian diri? Bukankah bahkan seorang Christopher McCandless menyadari bahwa semua itu keliru? Di ujung hidupnya, Chris justru memilih untuk mengukir nama aslinya, nama yang telah diberikan oleh orang tua yang pernah membuatnya kecewa, untuk meyakinkan siapapun yang membaca pesannya untuk "selalu menggunakan nama yang sebenarnya" dalam segala hal.
Dalam keterisolasiannya di Alaska yang liar, Chris akhirnya berhasil menemukan jati dirinya, yang semakin membuatnya menyesal karena sebenarnya jati diri itu sudah lama ia miliki, jauh sebelum ia melakukan perjalanan menuju maut itu. Ia menyesali keterlambatannya untuk mengenali diri, karena selama ini ia memandang kebahagiaan sejati hanya sebatas pada tercapainya hasrat dan keinginan.
Padahal bukankah kesejatian diri diperoleh bukan hanya dengan mengenali "sifat-sifat dan karakter, hasrat dan keinginan, serta kemampuan" yang ada pada diri kita, melainkan juga mengenali "ketidakmampuan dan keterbatasan" kita? Bukankah jati diri diperlukan bukan hanya untuk menemukan kebahagiaan sejati di hidup kita, melainkan juga membagikan kebahagiaan tersebut kepada orang-orang yang kita sayangi?
Keputusan ada di tangan kita masing-masing
Salam hangat dari seseorang yang sedang dalam proses mengenali diri,
Kisah hidup Christopher McCandless diceritakan kembali dalam sebuah film karya aktor kawakan Sean Penn, Into The Wild, yang diperankan dengan sempurna oleh Emile Hirsch.
0 comments:
Post a Comment