December 19, 2009

Relativitas Sebuah Ketidakadilan

Gambar diambil disini

"Justice does not come from the outside. It comes from inner peace."

Barbara Hall, A Summons to New Orleans, 2000

Kata "adil" mungkin sudah terdengar tidak asing lagi di telinga kita. Yang membuatnya asing adalah kelangkaan untuk berbuat atau memperoleh sebuah fenomena adil dalam kehidupan. Setiap kita mungkin sering mengeluhkan ketidak-adilan yang kita alami. Tapi sudahkah kita mencoba merenungkan kembali apakah perlakuan yang kita terima memang benar-benar tidak adil, atau justru sebenarnya merupakan satu hal paling adil yang pernah kita terima.

Semua usaha keras yang telah kita lakukan pada akhirnya akan sampai pada satu keadaan dimana kita mengharapkan bahwa usaha tersebut akan membuahkan hasil yang kita inginkan. Namun apa yang terjadi jika ternyata hasilnya jauh dari yang kita harapkan? Dalam arti singkat, gagal. Apakah kita kemudian akan langsung menghakimi keadaan tersebut sebagai sesuatu yang tidak adil?

Memaknai sesuatu sebagai adil atau tidak bukanlah hal yang mudah. Adil itu relatif, adil itu nisbi. Adil tidak hanya melibatkan pribadi seorang, namun juga manusia lain. Selamanya kita akan merasa diperlakukan tidak adil jika kita hanya menganggap kitalah yang lebih pantas memperoleh keadilan tersebut. Namun pada kenyataannya, orang lain juga ingin merasa diperlakukan dengan adil. Sayangnya, acap kali kita menemukan makna adil tersebut berbeda-beda untuk setiap manusia.

Adil selalu berhubungan dengan diperolehnya apa yang memang menjadi hak kita. Lantas adilkah untuk seseorang jika ternyata dia memperoleh apa yang memang sudah menjadi haknya, namun orang lain terus-terusan meneriakkan ketidakadilannya. Adilkah untuk diri kita sendiri jika kita terus membiarkan akal kita memikirkan ketidakadilan yang kita alami, padahal sebenarnya yang paling penting untuk kita lakukan adalah menapak tilas proses yang sudah kita lakukan untuk mencapai sebuah tujuan, tidak peduli apakah akan berhasil atau justru belum waktunya bagi kita untuk memperoleh keberhasilan itu.

Adil terkadang disesuaikan dengan kemampuan kita. Jika ternyata kita memang belum cukup mampu untuk menerimanya, apapun itu, meskipun kita sangat menginginkannya, kita belum akan mampu juga untuk memilikinya. Itulah keadilan. Keadilan intinya adalah meletakkan segala sesuatu sesuai dengan tempatnya masing-masing.

Diperlakukan adil atau tidak, itulah hidup. Mungkin buat kita itu itu memang tidak adil, tapi bisa jadi itu adalah hal yang adil buat orang lain. Mungkin kita menganggap mereka tidak pantas menerima keberhasilan tersebut, tapi justru inilah saatnya kita bisa bersikap adil terhadap diri sendiri dengan menerima keberhasilan orang lain.

Kita selalu mengeluhkan tentang ketidakadilan yang kita alami, namun sudahkah kita bersikap adil terhadap diri sendiri?

Tuhan sedang menyusun rencana untuk kita.

Salam saya,

December 05, 2009

This Is Our Own World

Ini hanya sebuah kutipan yang saya ambil dari sebuah karya Richard Bach, Jembatan Cinta Abadi

Kadang-kadang kita merasa kalau kita menutup mata dan dalam kegelapan itu kita berkata kepada diri sendiri, "Aku ini tukang sihir, dan kalau aku membuka mata aku akan melihat sebuah dunia yang kuciptakan sendiri, yaitu dunia yang berada di bawah tanggungjawabku secara penuh."

Kemudian dengan perlahan-lahan mata kita terbuka seperti membukanya sebuah layar panggung. Dan benarlah, kita dapat melihat dunia seperti yang kita ciptakan.

Salam magis dari saya,

December 03, 2009

Menuju Ke Kesejatian Diri

"Tingkah lakunya agak sedikit berbeda belakangan ini."
"Oh, dia cuma sedang dalam masa pencarian jati diri."

Pencarian jati diri memang merupakan satu hal yang pasti dialami dan menjadi satu fase terpenting dalam hidup. Saya percaya bahwa setiap orang memiliki jati diri dengan keunikannya masing-masing. Kata "keunikan" terasa pantas dipakai, menggantikan kata "kelebihan dan kekurangan" agar tidak terjebak dalam pandangan untuk saling membandingkan, seperti yang telah dipaparkan oleh Hendra dalam essai-nya, Siapakah Aku Yang Sejati.

Lalu apa sebenarnya jati diri itu sendiri?

Menurut Gnupi, jati diri adalah ekspresi batin mengenai tempat dan peran kita di dunia ini, guna menemukan arti kehidupan yang hakiki, sebagai tuntunan hidup dalam menemukan kebahagiaan sejati di hidup kita.

Namun seringkali terjadi bias dalam hal ini, dimana demi mendapatkan sebuah kebahagiaan sejati, pencarian jati diri yang terlalu ambisius tanpa disadari bisa beralih menjadi sebuah krisis jati diri.

Hal serupa pernah terjadi pada Christopher McCandless, seorang pemuda cerdas berusia awal duapuluhan, yang lulus dari Emory College di tahun 1992 dengan nilai nyaris sempurna. Tidak merasa bangga dengan kegemilangannya, Chris memutuskan untuk melepaskan semua atribut tersebut, bahkan menjauhkan diri dari kedua orang tua dan adik perempuannya dengan melakukan perjalanan jauh, tanpa sedikitpun kemewahan ataupun bisa dilacak oleh keluarganya. Dengan menumpang mobil beberapa orang yang dia temui di jalan, Chris berambisi untuk pergi ke Alaska dan mencoba menantang Tuhan dengan berusaha bertahan hidup di alam paling liar dengan iklim yang paling jahat, all by his own. Semua itu ia lakukan hanya untuk sebuah pencarian jati diri yang ia harapkan mampu menghadiahinya sebuah kebahagiaan sejati, hanya untuk dirinya sendiri. Namun apa akhirnya yang ia temukan? Kenyataan pahit bahwa ia harus terbangun dari mimpi dan menyadari bahwa "kebahagiaan akan terasa berarti apabila dibagi".

Krisis jati diri yang dialami Chris, dan mungkin juga oleh sebagian kita, tentu saja mempunyai beberapa penyebab yang kerap disalahartikan sebagai alasan untuk melakukan pencarian jati diri. Dalam essai Gnupi, Krisis Jati Diri dan Penyebabnya, disebutkan bahwa krisis jati diri serigkali disebabkan oleh perasaan mendalam manusia yang :
  • merasa hidupnya selalu diatur,
  • mengejar penghargaan dari lingkungan, dan
  • memiliki pandangan sempit dan terbatas terhadap kehidupan.
Sementara pada hakekatnya, jati diri tidaklah perlu dicari, karena eksistensinya sesungguhnya sudah ada pada diri kita sejak masa dahulu, sekarang, dan pada masa yang akan datang.

Kita tidak perlu mengalami metamorfosa menjadi individu yang baru untuk menemukan jati diri karena sejak lahir jati diri itu sudah melekat pada diri pribadi. Tugas kita hanyalah mengenali diri sendiri, suatu proses yang ternyata sangat sulit dan membingungkan karena kecenderungan kita yang masih belum mampu memandang diri sendiri secara "jujur, objektif, dan adil".

Melakukan sesuatu di luar kebiasaan, atau melakukan sesuatu yang sama sekali baru, bahkan terkadang ekstrim, menjadi semacam pelarian berlabel "pencarian jati diri" bagi mereka yang masih kesulitan mengenali diri mereka. Chris mengganti namanya menjadi Alexander Supertramp dalam perjalanannya menemukan jati diri, dengan harapan bahwa dengan identitas baru, ia akan lebih mudah memaknai kesejatian dirinya.

Namun benarkah? Apakah dengan mengubah identitas kita juga mampu memperoleh kesejatian diri? Bukankah bahkan seorang Christopher McCandless menyadari bahwa semua itu keliru? Di ujung hidupnya, Chris justru memilih untuk mengukir nama aslinya, nama yang telah diberikan oleh orang tua yang pernah membuatnya kecewa, untuk meyakinkan siapapun yang membaca pesannya untuk "selalu menggunakan nama yang sebenarnya" dalam segala hal.

Dalam keterisolasiannya di Alaska yang liar, Chris akhirnya berhasil menemukan jati dirinya, yang semakin membuatnya menyesal karena sebenarnya jati diri itu sudah lama ia miliki, jauh sebelum ia melakukan perjalanan menuju maut itu. Ia menyesali keterlambatannya untuk mengenali diri, karena selama ini ia memandang kebahagiaan sejati hanya sebatas pada tercapainya hasrat dan keinginan.

Padahal bukankah kesejatian diri diperoleh bukan hanya dengan mengenali "sifat-sifat dan karakter, hasrat dan keinginan, serta kemampuan" yang ada pada diri kita, melainkan juga mengenali "ketidakmampuan dan keterbatasan" kita? Bukankah jati diri diperlukan bukan hanya untuk menemukan kebahagiaan sejati di hidup kita, melainkan juga membagikan kebahagiaan tersebut kepada orang-orang yang kita sayangi?

Keputusan ada di tangan kita masing-masing

Salam hangat dari seseorang yang sedang dalam proses mengenali diri,



Kisah hidup Christopher McCandless diceritakan kembali dalam sebuah film karya aktor kawakan Sean Penn, Into The Wild, yang diperankan dengan sempurna oleh Emile Hirsch.