November 28, 2009

Yang Tertinggi

"Orang yang mendaki paling tinggi
adalah orang yang membantu orang lain
naik ke atas."

(George Matthew Adams)

"Di tempat kami berada udara dingin sekali. sehingga lilin membeku dan kami tidak bisa meniupnya untuk memadamkan nyalanya," kata seorang pria kepada pria lainnya.
"Itu belum apa-apa," jawab pria satunya. "Di tempat kami tiap kata-kata keluar dari mulut dalam kepingan-kepingan es kecil, dan kami harus menggorengnya terlebih dulu supaya bisa melihat apa yang kami bicarakan." (majalah Courier Journal).

Obrolan di atas tentulah banyolan belaka. Tapi, intinya, pria yang satu tidak mau kalah dibanding pria lainnya. Dan, pada kenyataannya, manusia pada umumnya memang demikian.

Dalam hidup ini orang selalu ingin melebihi orang lainnya. Karena itulah orang yang sudah meraih gelar sarjana masih juga meneruskan pendidikannya hingga menyandang status master. Cukup? Ternyata belum. Pendidikannya diteruskan lagi hingga mencapai gelas doktor. Sementara puluhan anak di lingkungannya terpaksa putus sekolah sebelum sempat memegang ijazah karena orangtuanya hidup susah.

Karena itu pula orang tidak pernah merasa dirinya kaya, sebab selalu saja ada orang lain yang lebih kaya. Sayangnya, untuk menumpuk kekayaan orang tak jarang menghalalkan segala cara: membabat hutan dan bahkan berbisnis obat terlarang yang menyebabkan generasi muda tergelincir ke jurang kehancuran.

Keinginan untuk melebihi orang lain tersebut berlanjut pula pada sikap hidup keseharian. Orang yang sudah memiliki dua buah mobil, selalu saja ingin membeli mpbil baru yang ketiga. Jika tetangga sebelah memiliki jumlah yang sama, maka ia akan menambah satu lagi agar melebihinya. Jika tetangganya punya mobil baru, ia akan membeli yang lebih baru. Karena itulah setiap mobil produk terbaru diluncurkan ke pasar, selalu saja ada banyak pembelinya. Soalnya, orang membeli mobil tidak lagi sekadar untuk memenuhi kebutuhan, melainkan demi memenuhi keinginan melebihi orang lain.

Dalam soal ibadah pun tidak sedikit orang yang melakukannya tidak semata karena iman, tapi juga demi persaingan. Makanya tidak sedikit orang yang berulang kali naik haji, sementara tetangga di sebelah atau di belakang rumahnya kerap kehabisan nasi. Tidak sedikit oarang yang menggunakan sajadah atau mukena mewah, sementara banyak orang di sekellingnya berkeluh kesah dililit kesusahan.

Semua itu dilakukan orang demi ambisinya menjadi yang tertinggi, yang tak tersaingi. Padahal mana ada mobil baru, sebab selalu saja ada mobil produk terbaru. Mana ada orang yang bisa disebut paling banyak ibadahnya, sebab yang dihitung bukan banyak sedikitnya, melainkan seberapa tinggi tingkat keikhlasannya. Mana ada orang terkaya, sebab selalu saja ada orang lain yang lebih kaya dan kekayaan itu sendiri sifatnya sementara saja. Selain itu, kekayaan yang sebenarnya adalah seberapa banyak seseorang dapat memberi orang lain.

Karena itulah Henry Van Dyke mengingatkan: ada ambisi yang lebih luhur daripada hanya berdiri di ketinggian di dunia, yaitu membungkuk ke bawah dan mengangkat umat manusia sedikit lebih tinggi derajatnya.

Salam saya,


Sumber: Media Kalimantan

1 comments:

abdulloh said...

hello reportedly good friends?